Dalam Tiga Babak
Rekah sebuah bibir terasa begitu kelu.
Tiada mampu beraksara barang satu.
Purnama malam melegam.
Teralih ia oleh fantom pelita Sang Pujaan.
Durja Ibukota yang menjelma pelengkap kian melekat.
Luruh sudah, jelita menangis di ambang sekarat.
i. Satu,
dan ditemuinyalah pria tanpa nama.
Gugur raga, tangis lara.
Harap paling sentosa sirna dalam sekejap,
kala Sang Pria mengucap,
“Kau lacur! Kan kubuat kau hancur!”
Tidak.
Tidak.
Tidak.
Berlari ia tanpa alas kaki,
Dengan jiwa meraung tanpa henti, juga sakit yang semakin menyelimuti.
ii. Dua,
Sebuah pengharapan perihal datangnya peruntungan kembali dihaturkan.
Hingga sampailah ia pada seorang militan negara yang sedang berjaga.
Bahagia menjadi kata pertama, syukur ia kepada Sang Maha.
“Tolong aku!”
“Oh Jelitaku! Kamalah bersama tabu milikku!”
Lebur nestapa, duka menertawakannya cuma-cuma.
Berlari,
dan berlari.
iii. Tiga,
Pilu membiru di antara kedua netra hilang, manakala dilihatnya yang ‘sama’ di depan sana.
“Tolong aku!’
“Lihatlah engkau! Busana tidak beretika!”
Menyalang dengan marah,
diangkatnya belati penuh gelora,
tancap ia pada kepala.
Merah berkuasa,
anyir meraja.
dan menangis,
dan tertawa.
Betapa ingin ia merdeka,
Dari jerat kausa yang buat siksa merajalela.
Hingga keras bumi manusia untuk kaum sepertinya.
Oh Tuhan,
Katamu, purna ada di tangan ia yang melahirkan,
Namun rupa yang menjelma hanya angan tanpa tujuan.
dan menangis,
dan tertawa.
— Jakarta, 2022.
Ann